Aku membencinya!!!
Itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan
kami. Meskipun bersedia dia nikahi, aku tak pernah benar-benar menyerahkan
hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua,membuatku membenci suamiku
sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku.
Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku
terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain.
Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tetapi aku tak punya kemampuan
finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku
karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk mereka putri
satu-satunya.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal
sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-
benar menjalani tugasku sebagai seorang istri.
Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah
seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku
padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua
keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika
ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka
handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur. Aku sebal melihat ia
meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas
lengket.
Aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku. Aku
juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi. Aku marah
kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang
dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, aku tak
mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tetapi
rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa
minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru
menyadarinya setelah lebih dari empat bulan. Dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya.
Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan
harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan
vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua
keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang kedelapan.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak
sudah menungguku di meja makan.
Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak
ke sekolah. Pagi itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun
ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang
mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya. Saat itu aku memilih ke mal dan tidak
hadir di acara ibu.
Yaah..., aku merasa terjebak dengan perkimpoianku. Aku juga membenci kedua
orangtuaku. Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti
anak-anak.
Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya
dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun
akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa
kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Setelah mereka pergi, aku memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke
salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di
salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai.
Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba
waktunya aku harus membayar tagihan salon betapa terkejutnya aku ketika
menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga
bagian terdalam, aku tak jua menemukannya.
Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa
kutemukan,aku menelepon suami dan bertanya...
“Maaf ya, Sayang! Kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang
kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu. Kalau
tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku,” katanya menjelaskan dengan
lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa
menunggunya selesai bicara.
Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan, meski masih kesal,
akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, Aku akan ambil dompet dan mengantarnya
padamu. Sayang sekarang ada di mana?” tanya suamiku cepat, sepertinya kuatir
aku menutup telepon kembali.
Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi aku kembali
menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan
datang membayarkan tagihanku. Si empunya salon yang sahabatku sebenarnya sudah
membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali
lagi.
Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet
membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera
sampai. Menit berlalu menjadi jam. Aku semakin tidak sabar sehingga mulai
menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali
kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah
diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku
belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab. Aku terdiam beberapa saat
sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “Selamat siang, Ibu. Apakah
ibu ini istri dari Pak Armandi?”
Kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi. Ia
memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke
rumah sakit kepolisian.
Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon
ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone
yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada
apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga
tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku hanya diam seribu
bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus
melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku.
Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan
maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku
telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, Serangan stroke-lah
yang menyebabkan kematiannya.
Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua
orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun
keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah, ibu dan mertuaku. Anak-anak
yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu
membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu
menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya
yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama.
Saat itulah dadaku menjadi sesak, teringat apa yang telah ia berikan padaku
selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah
dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu
selalu dihiasi senyum hangat.
Air mata merebak di mataku, Mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap,
berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, Aku
ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak
berakhir begitu saja.
Tetapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku.
Peringatan dari imam masjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu
membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tetapi dadaku sesak
mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir
tak pernah mengatur makanannya, padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan.
Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika
mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan
teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak
pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak
tahu apa yang ia sukai dan tidak dia sukai.
Hampir seluruh keluarga kemudian tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie
instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, Karena aku tahu ia mungkin
terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku
hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah
makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau
bersisa.
Ia pun pulang larut malam setiap hari karena jarak kantor cukup jauh dari
rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke
kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat
tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apa pun
sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal
memenuhi rongga dadaku. Keluarga besar membujukku dengan sia-sia karena mereka
tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti
yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk
bersamanya.
Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring
kosong. Ayah, ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat
hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu.
Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya
seperti biasa dan malah ibuku yang datang, Aku berjongkok menangis di dalam
kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali
aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan
menjawab teleponku.
Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku
terbangun dengan sosoknya di sebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur
mendengar suara dengkurannya, tetapi sekarang aku bahkan sering terbangun
karena rindu mendengarnya kembali.
Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini
aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika
ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, tetapi
sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas
jari-jarinya masih tertinggal di sana.
Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja,
tetapi sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnya pun tidak
kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah
kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan
remote.
Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia
mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya. Aku juga marah pada diriku
sendiri. Aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada.
Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku
rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah
karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang.
Tak ada lagi yang mengingatkanku shalat meskipun kini kulakukan dengan
ikhlas. Aku shalat karena aku ingin meminta maaf; meminta ampun pada Allah Yang
Maha Pengampun karena menyia-nyiakan suami yang Dia anugerahi padaku; meminta
ampun karena telah menjadi isteri yang tidak baik pada suami yang begitu
sempurna.
Shalat-lah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang padaku ditunjukkanNya dengan begitu
banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama
ini kubela-belakan, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah
kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit
dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali
rasa bingung merasukiku.
Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku.
Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli; yang kupedulikan
hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku guna kupakai untuk keperluan
pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa.
Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta
kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata
seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah
sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga.
Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang
aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji
terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga.
Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali.
Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama
seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan
sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya
padaku dan anak-anak, Ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tetapi yang
membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku:
Istriku Liliana tersayang!
Maaf karena aku harus meninggalkanmu terlebih dahulu. Maaf karena harus
membuatmu bertanggungjawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa
memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah Yang Mahakuasa memberiku waktu
yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang
pernah kulakukan untukmu. Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingimu, Sayang,
selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja.
Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian
nanti. Aku tak ingin Sayang dan anak-anak kita susah setelah aku pergi. Tak
banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap Sayang bisa memanfaatkannya
untuk membesarkan dan mendidik anak- anak. Lakukanlah yang terbaik untuk mereka
ya, Sayang!
Jangan menangis, Sayangku yang manja! Lakukan banyak hal untuk membuat
hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk
mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau
aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku: maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu.
Jadilah kelak isteri yang baik seperti Ibu.
Dan Farhan, ksatria kebanggaanku: jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak
yang bandel lagi dan selalu ingat di manapun kalian berada, ayah akan disana
melihatnya. Oke!
Aku terisak membaca surat itu, Ada gambar kartun dengan kacamata yang
diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris
memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan
deposito dari hasil warisan ayah kandungnya.
Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan
usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang
kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar
cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami
dengan cinta.
Aku pun tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir
tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi
hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi
satu persatu meninggalkan kami selama-lamanya, tak satupun meninggalkan
kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku
menikah dengan seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu,
aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri? Soalnya Farah kan ga bisa
masak, ga bisa nyuci, gimana ya, Bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata, “Cinta, Sayang, cintailah suamimu,
cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan
segalanya. Karena cinta,kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar
menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan kalian akan
menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “Seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat
ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “Bukan, Sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai
ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena
cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada
suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan
hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena
kematian, tetapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus
#copyright